I. Asal Mula Kerajaan Mataram Kuno
Sekitar abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram.
Munculnya kerajaan ini diterangkan dalam prasasti yang ditemukan di daerah
Canggal, di barat daya Magelang. Dalam Prasasti Canggal diterangkan bahwa Raja
Sanjaya telah mendirikan sebuah lingga di atas bukit Kunjarakunja (di Gunung
Wukir) pada tahun 732 Masehi. Jawa (Mataram) yang kaya akan padi dan emas,
mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna meninggal,
negara pecah karena kehilangan pelindung. Penggantinya adalah Raja Sanjaya
anak Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna. Raja Sanjaya berhasil
menaklukkan beberapa daerah di sekitarnya dan menciptakan kemakmuran bagi
rakyatnya.
Riwayat berdirinya Kerajaan Mataram tersurat pula dalam
kitab Carita Parahiyangan. Di dalam Carita Parahiyangan diceritakan
bahwa Sanna terpaksa turun takhta karena dikalahkan Rahyang Purbasora di
Galuh. Beliau dan para pengikutnya menyingkir ke lereng Gunung Merapi. Tidak
lama, anak Sannaha, yaitu Sanjaya berhasil membalas kekalahan Raja Sanna.
Beliau kemudian menguasai Galuh kembali dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil
di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah. Setelah itu Sanjaya mendirikan
Kerajaan Mataram yang beribukota di Medang ri Poh Pitu pada tahun 717 Masehi.
Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja dari Dinasti
Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya adalah raja-raja keturunan
Sanjaya yang menganut agama Hindu, sedangkan Dinasti Syailendra adalah
raja-raja yang diduga berasal dari India Selatan atau Kamboja yang menganut
agama Buddha Mahayana. Menurut beberapa ahli sejarah, antara kedua dinasti
terjadi persaingan sehingga mereka secara bergantian memerintah di Mataram. Di
dalam Prasasti Mantyasih (907 M) dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M)
disebutkan nama-nama Raja Mataram sebagai berikut.
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Sankhara (746-784 M)
3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan/Dharanindra (784-803 M)
4. Sri Maharaja Rakai Warak Dyah Manara (803-827 M)
5. Sri Maharaja Dyah Gula (827-828 M)
6. Sri Maharaja Dyah Garung (828-847 M)
7. Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu (847-855 M)
8. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (885-885 M)
9. Sri Maharaja Dyah Tagwas (885 M)
10. Sri Maharaja Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887 M)
11. Sri Maharaja Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887 M)
12. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang Dyah Jbang (894-898 M)
13. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-913 M)
Raja Sanjaya meninggal pada tahun 746 M. Beliau diganti oleh
Rakai Panangkaran. Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran agama Buddha mulai
berkembang di Mataram.
Dalam Prasasti Sankhara (sekitar abad ke-8) yang ditemukan
di Sragen (Jawa Tengah), tertulis bahwa Rakai Panangkaran telah berpindah dari
agama Siwa ke agama Buddha. Beliau mendirikan Candi Kalasan untuk menghormati
Dewi Tara. Beliau juga membangun biara untuk para bhiksu dan bhiksuni Buddha.
Sejak saat itu, keluarga kerajaan ada yang beragama Hindu, ada pula yang
beragama Buddha. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian
utara, dan mereka yang menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah
bagian selatan.
Agama Buddha mengalami perkembangan yang amat pesat pada
masa pemerintahan Samaratungga, anak dari Rakai Panangkaran. Nama
Samaratungga tidak tercatat dalam silsilah raja-raja yang tertuang dalam
Prasasti Mantyasih. Beliau diketahui namanya dari Prasasti Nalanda dan Prasasti
Kayumwungan (824 M). Pada tahun 824 M, Beliau berhasil membangun Candi
Borobudur untuk para penganut agama Buddha. Bangunan ini terdiri atas 10
tingkat yang melambangkan makna bahwa kesempurnaan hidup akan dicapai setelah
melampaui 10 tingkatan.
Samaratungga mempunyai anak yang bernama Pramodhawardani
dan Balaputeradewa. Samaratungga menikahkan Pramodhawardani dengan Rakai
Pikatan. Balaputeradewa tidak menyetujui perkawinan tersebut karena terancam
kedudukannya sebagai putera mahkota Syailendra. Oleh karena itu, timbullah
perselisihan antara Balaputeradewa dan Pramodhawardani yang dibantu Rakai
Pikatan. Dalam pertikaian itu, Balaputeradewa menderita kekalahan sehingga
melarikan diri ke Sumatera. Kelak ia menjadi raja di Sriwijaya.
Semenjak Rakai Pikatan berkuasa, Kerajaan Mataram menjadi
aman dan makmur. Umat Hindu dan Buddha hidup berdampingan dengan rukun dan
damai. Toleransi kehidupan beragama terwujud dalam pembangunan dan pemeliharaan
candi-candi secara bergotong royong.
Kerajaan Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah di
sebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya.
Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang
meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).
Sepeninggal Raja Balitung, Kerajaan Mataram kuno diperintah
oleh raja-raja, yakni Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M),
dan Wawa
(924-929 M). Namun, tidak ada sumber berarti yang dapat
menerangkan peran ketiga raja tersebut.
Pada tahun 929 pusat Kerajaan Mataram kuno dipindahkan ke
Watugaluh (Jawa Timur) oleh Mpu Sindok. Beliau dianggap sebagai pendiri
Dinasti Isyana. Menurut para ahli sejarawan, perpindahan pusat kerajaan itu
dilakukan karena wilayah Mataram ditimpa bencana letusan Gunung Merapi. Masa
pemerintahan Mpu Sindok berlangsung secara aman dan tenteram. Mpu Sindok
seringkali memberikan bantuan bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam bidang
sastra muncul Kitab Suci Agama Buddha Tantrayana, yaitu Sang Hyang
Kamahayanikan.
Kekuasaan Mpu Sindok diteruskan oleh Sri Isana Tunggawijaya yang memerintah sebagai Ratu. Ia
menikah dengan Raja Sri Lokapala dan dikaruniai seorang putra yang bernama Sri
Makutawang Swardhana.
Pada akhir abad ke-10 M, Mataram
diperintah oleh Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang memerintah sampai
tahun 1016 M. Ia adalah salah seorang keturunan Mpu Sindok. Berdasarkan berita
dari Cina, disebutkan bahwa Dharmawangsa pada tahun 990 M melakukan serangan ke
Sriwijaya sebagai upaya mematahkan monopoli perdagangan
Sriwijaya. Serangan tersebut gagal, malahan Sriwijaya berhasil menghasut Raja
Wurawari (sekitar Banyumas) untuk menyerang istana Dharmawangsa pada tahun
1016. Akhirnya Sri Dharmawangsa yang mempunyai ambisi untuk meluaskan
kekuasaannya, pada tahun 1016 M mengalami kehancuran (Pralaya) di tangan
seorang raja bawahannya sendiri yaitu Raja Wurawari.
II. Raja-Raja Kerajaan Mataram Kuno
A. Mataram
Hindu
1.Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
Raja
Sanjaya berdasarkan Prasasti Canggal (732 M), merupakan pendiri dari Dinasti
Sanjaya yang bertahta di Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Menurut Prasasti
Canggal (732 M), ia adalah kemenakan dari Sanna, penguasa sebelumnya. Raja
Sanjaya mendirikan candi-candi untuk memuja Dewa Siwa. Sanjaya juga belajar
agama Hindu Siwa dari para pendeta yang ia panggil.
Sanjaya meninggal pada pertengahan abad ke-8 dan kedudukannya di Mataram digantikan oleh Rakai Panangkaran (760-780), dan terus berlanjut sampai masa Dyah Wawa (924-928), sebelum digantikan oleh Mpu Sindok (929) dari Dinasti Isyana.
Menurut sumber sejarah Sunda, Sanjaya di Jawa Barat dikenal pula dengan panggilan Prabu Harisdarma, dan ia turut berperan dalam suksesi di Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Di sana, keturunannya melalui Rakeyan Banga (739-766 M) terus memerintah sampai dengan masa Sri Jayabupati (1030-1042 M).
Sanjaya meninggal pada pertengahan abad ke-8 dan kedudukannya di Mataram digantikan oleh Rakai Panangkaran (760-780), dan terus berlanjut sampai masa Dyah Wawa (924-928), sebelum digantikan oleh Mpu Sindok (929) dari Dinasti Isyana.
Menurut sumber sejarah Sunda, Sanjaya di Jawa Barat dikenal pula dengan panggilan Prabu Harisdarma, dan ia turut berperan dalam suksesi di Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Di sana, keturunannya melalui Rakeyan Banga (739-766 M) terus memerintah sampai dengan masa Sri Jayabupati (1030-1042 M).
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
Rakai Panangkaran yang
berarti raja mulia yang berhasil mengembangkan potensi wilayahnya. Rakai Pangkaran berhasil mewujudkan
cita-cita ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan mengambangkan
potensi wilayahnya.
Nasehatnya yang terkenal
tentang kebahagiaan hidup manusia adalah :
·
Kasuran (Kesaktian)
·
Kagunan (Kepandaian)
·
Kabegjan (Kekayaan)
·
Kabrayan (Banyak Anak
Cucu)
·
Kasinggihan (Keluhuran)
·
Kasyuwan (Panjang Umur)
·
Kawidagdan (Keselamatan)
Menurut Prasati Kalasan,
pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi yang bernama
Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa
Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.
3. Sri
Maharaja Rakai Pananggalan
Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang
peduli terhadap siklus waktu. Beliau berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno.
Rakai Panggalan juga memberikan rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, seperti berikut ini “Keselamatan
dunia supaya diusahakan agar tinggi derajatnya. Agar tercapai tujuannya tapi
jangan lupa akan tata hidup”
Visi dan Misi Rakai Panggalan yaitu selalu
menjunjung tinggi arti penting ilmu pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi
tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti empat Guru berarti berat. Jadi artinya
empat guru yang mempunyai tugas berat. Catur Guru terdiri dari :
·
Guru Sudarma, orang tua
yang melairkan manusia.
·
Guru Swadaya, Tuhan
·
Guru Surasa, Bapak dan
Ibu Guru di sekolah
·
Guru Wisesa, Pemerintah
pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama
Pemberian penghormatan dalam bidang pendidikan,
maka
kesadaran hukum
dan pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.
4. Sri
Maharaja Rakai Warak
Rakai Warak, yang berarti raja mulia yang peduli
pada cita-cita luhur. Pada masa pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer
berkembang dengan pesat. Berbagai macam senjata diciptakan. Rakai Warak sangat
mengutamakan ketertiban yang berlandaskan pada etika dan moral. Saat Rakai
Warak berkuasa, ada tiga pesan yang diberikan, yaitu :
1. Kewajiban raja adalah jangan sampai
terlena dalam menata, meneliti, memeriksa dan melindungi.
2. Pakaian raja adalah menjalankanlah
dengan adil dalam memberi hukuman dan ganjaran kepada yang bersalah dan
berjasa.
3. Kekuatan raja adalah bisa mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi
anugrah.
5. Sri
Maharaja Rakai Garung
Garung memiliki arti raja mulia yang tahan
banting terhadap segala macam rintangan. Demi memakmurkan rakyatnya, Sri
Maharaja Rakai Garung bekerja siang hingga malam. Hal ini dilakukan tak lain
hanya mengharap keselamatan dunia raya yang diagungkan dalam ajarannya.
Dalam menjalankan pemerintahannya Rakai Garung
memiliki prinsip Tri Kaya
Parasada yang berarti tiga perilaku manusia
yang suci. Tri Kaya Parasada yang dimaksud, yaitu :
v Manacika yang berarti berfikir yang baik dan
benar.
v Wacika yang berarti berkata yang baik dan benar.
v Kayika yang berarti berbuat yang baik dan benar.
6. Sri
Maharaja Rakai Pikatan
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada
masa pemerintahan Rakai Pikatan. Dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perut (850
M) menyebutkan bahwa Rakai Pikatan yang bergelar Ratu mencapai masa kemakmuran
dan kemajuan. Pada masa pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang
wilayah kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan
negerinya dan bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan
diri ke Palembang.
Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya
Candi Prambanan dan Candi Roro Jonggrang. Pembuatan Candi tersebut terdapat
dalam prasasti Siwagraha yang berangka tahun 856 M. Rakai Pikatan terkenal
dengan konsepnya Wasesa Tri Dharma yang berarti tiga sifat yang
mempengaruhi kehidupan manusia.
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi memiliki gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Tugas
utamanya yaitu memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga
negaranya.
Pada masa pemerintahannya, Rakai Kayuwangi
menuturkan bahwa ada enam alat untuk mencari ilmu, yaitu :
1. Bersungguh-sungguh tidak gentar
Semua tutur kata dan budi bahasa dilakukan
dengan baik, selaras dan menyatu.
2. Bertenggang rasa
Memperhatikan sikap yang kurang baik dengan
kebenaran.
3. Ulah pikiran
Menimbang-nimbang dengan memperhatikan tujuan
kemampuan dan kemauan yang diterapkan harus atas pemikiran yang tepat.
4. Penerapan ajaran
Dalam setiap melaksanakan kehendak harus
dipertimbangkan, jangan sampai tergesa-gesa. Jangan melupakan ajaran terdahulu,
ajaran masa kini perlu untuk diketahui.
5. Kemauan
Sanggup sehidup semati, mematikan keinginan dan
membersihkan diri. Dalam kata lain, tekad dan niat harus dilakukan dan tidak segan-segan dalam melakukan pekerjaan.
6. Menguasai berbagai bahasa
Memahami semua bahasa agar mampu mengatasi
perhubungan serta mampu mengakrabi siapa saja.
8. Sri
Maharaja Rakai Watuhumalang
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip
dalam menjalankan pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya
adalah Tri Parama Arta yang berarti tiga perbuatan untuk
mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Tri Parama Arta terdiri
dari :
1. Cinta Kasih, menyayangi dan mengasihi
sesama makhluk sebagaimana mengasihi diri sendiri.
2. Punian, perwujudan cinta kasih dengan
saling tolong menolong dengan memberikan sesuatu yang dimiliki secara ikhlas.
3. Bakti, perwujudan hati nurani berupa
cinta kasih dan sujud Tuhan, orang tua, guru dan pemerintah.
9. Sri
Maharaja Rakai Dyah Belitung
Pada masa pemerintahannya beliau memiliki seorang
teknokrat intelektual yang handal bernama Daksottama. Pemikirannya mempengaruhi
gagasan Sang Prabu Dyah Balitung. Masa pemerintahannya juga menjadi masa keemasan bagi Wangsa Sanjaya.
Sang Prabu aktif mengolah cipta karya untuk mengembangkan kemajuan masyarakatnya.
Dalam mengolah cipta karya, tahun 907 Dyah Balitung membuat Prasasti Kedu atau
Metyasih yang berisikan nama-nama raja Kerajaan Mataram Wangsa Sanjaya. Serta menjelaskan bahwa pertunjukan wayang
(mengambil lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada
masa itu.
10. Sri
Maharaja Rakai Daksa
Daksa yang berarti seorang pemimpin yang utama
dan istimewa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, Daksottama dipersiapkan untuk
menggantikannya sebagai Raja Mataram Hindu.
11. Sri Maharaja
Rakai Dyah Tulodhong
Rakai Dyah Tulodhong mengabdikan dirinya kepada
masyarakat menggantikan kepemimpinan Rakai Daksa. Keterangan tersebut termuat
dalam Prasasti Poh Galuh yang berangka tahun 809 M. Pada masa
pemerintahannya, Dyah Tulodhong sangat memperhatikan kaum brahmana.
12. Sri
Maharaja Rakai Dyah Wawa
Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan sebagai raja
Mataram pada tahun 921 M. Beliau terkenal sebagai raja yang ahli dalam
berdiplomasi, sehingga sangat terkenal dalam kancah politik internasional.
Roda perekonomian pada masa pemerintahannya
berjalan dengan pesat. Dalam menjalankan pemerintahannya Dyah Wawa memiliki
visi
Tri Rena Tata yang
berarti tiga hutang yang dimiliki manusia. Pertama, hutang kepada Tuhan yang menciptakannya. Kedua, hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya. Dan ketiga,
hutang ilmu kepada guru yang telah mengajarkannya.
Keruntuhan
Mataram Hindu: Pada abad ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan strategi suksesi Empu Sendok yang memiliki
integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah
pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang
pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang
dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat pemerintahannya
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sumber lain menyebutkan perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur
disebabkan oleh meletusnya gunung merapi di Jawa Tengah.
B. Mataram Budha
1.
Raja Syailendra
Raja Banu / Syailendra merupakan Raja pertama
sekaligus pendiri Wangsa Syailendra.
2.
Raja Dharanendra
Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur mulai
dibangun tepatnya 778 M.
3.
Raja Indra
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat
Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan.
4.
Raja Samaratungga
Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur
segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga
sangat menghayati nilai agama dan budaya. Pada masa pemerintahannya Candi Borobudur
selesai dibangun.
5.
Raja Pramodhawardhani
Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang
dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya
seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat.
Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno
dari Wangsa Sanjaya.
6.
Raja Balaputera Dewa
Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga
dari ibu yang bernama Dewi Tara, puteri Raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi
perebutan tahta kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami
Pramodhawardhani. Balaputera Dewa merasa berhak mendapatkan tahta tersebut
karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan tidak setuju
terhadap tahta yang diberikan kepada Rakai Pikatan yang keturunan
Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan
dan melarikan diri ke Palembang.
III. Kehidupan Kerajaan Mataram Kuno
A. Kehidupan Politik
Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya,
Mataram Kuno menjalin kerjasama dengan Kerajaan tetangga, misalnya Sriwijaya,
Siam dan India. Selain itu, Mataram Kuno juga menggunakan sistem perkawinan
politik. Misalnya pada masa pemerintahan Samaratungga yang berusaha menyatukan
kembali Wangsa Sailendra dan Wangsa Sanjaya dengan cara anaknya yang bernama
Pramodyawardhani (Wangsa Sailendra) dinikahkan dengan Rakai Pikatan (Wangsa
Sanjaya). Wangsa Sanjaya merupakan penguasa awal di Kerajaan Mataram Kuno,
sedangkan Wangsa Sailendra muncul setelahnya yaitu mulai akhir abad ke-8 M.
Dengan adanya perkawinan politik ini, maka jalinan kerukunan beragama antara Hindu
(Wangsa Sanjaya) dan Buddha (Wangsa Sailendra) semakin erat.
B.
Kehidupan
Sosial
Kerajaan Mataram Kuno meskipun dalam
praktik keagamaannya terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha, masyarakatnya
tetap hidup
rukun dan saling bertoleransi. Sikap itu dibuktikan ketika mereka bergotong
royong dalam membangun Candi Borobudur. Masyarakat Hindu yang sebenarnya tidak
ada kepentingan dalam membangun Candi Borobudur, tetapi karena sikap toleransi
dan gotong royong yang telah mendarah daging turut juga dalam pembangunan
tersebut.
Keteraturan kehidupan sosial di Kerajaan
Mataram Kuno juga dibuktikan adanya kepatuhan hukum pada semua pihak. Peraturan
hukum yang dibuat oleh penduduk desa ternyata juga dihormati dan dijalankan
oleh para pegawai istana. Semua itu bisa berlangsung karena adanya hubungan
erat antara rakyat dan kalangan istana.
C. Kehidupan
Ekonomi
Pusat kerajaan Mataram Kuno terletak di
Lembah sungai Progo, meliputi daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan
Yogyakarta. Daerah itu amat subur sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya
pada hasil pertanian. Hal ini mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta
daerah lain yang saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya. Usaha
untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa
pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Usaha perdagangan juga mulai mendapat
perhatian ketika Raja Balitung berkuasa. Raja telah memerintahkan untuk membuat
pusat-pusat perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai
Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas
perdagangan melalui aliran sungai tersebut. Sebagai imbalannya, penduduk desa
di kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarya
pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan
menigkatkan perekonomian dan
kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.
IV. Peninggalan-Peninggalan
Kerajaan
Mataram Kuno
1. CANDI
A.
Candi Hindu
a.
Candi Dieng
Lokasi:
Kabupaten Wonosobo
b.
Candi Canggal
Lokasi:
Dusun Canggal, Kalurahan Kadiluwih,
Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Dibangun
pada saat pemerintahan Raja Sanjaya pada tahun 732 M.
c.
Candi Bima
Lokasi:
Kabupaten Wonosobo.
Merupakan
salah satu candi pada kompleks Candi Dieng.
d.
Candi Prambanan
Lokasi:
Perbatasan Klaten-Sleman.
Candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun oleh Raja-raja Dinasty Sanjaya pada abad ke-9.
Lokasi: Desa Sambisari Kelurahan
Purwomartani Kabupaten Sleman Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Dibangun pada saat pemerintahan Raja Rakai Garung pada tahun
812-838 M.
f.
Candi Gedong Songo
Lokasi:
Desa Candi, Kecamatan Bandungan,
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Terletak di lereng Gunung Ungaran pada
ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut.
B.
Candi Buddha
a.
Candi Borobudur
Lokasi: Kabupaten Magelang.
Dibangun pada masa Raja Samaratungga.
b.
Candi Pawon
Lokasi:
Kabupaten Magelang.
Dibangun
pada masa Raja Pramodyawardani.
c. Candi Mendut
Lokasi: Kabupaten Magelang.
Didalamnya terdapat patung Padmapani dan Wajrapani.
d.
Candi
Kalasan
Lokasi: Kabupaten Sleman.
Dibangun pada masa Raja Panangkaran.
e.
Candi
Ngawen
Lokasi: Kabupaten Muntilan.
Dibangun oleh Raja yang beragama Hindu, dan
diperuntukkan bagi umat yang beragama Buddha.
2. PRASASTI
1.
Prasasti Canggal
Ditemukan di halaman Candi Gunung
Wukir di Desa
Canggal,
berangka tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala.
Menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta. Isinya
menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di Desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan di samping itu juga diceritakan bahwa mula-mula yang menjadi Raja adalah Sanna kemudian digantikan oleh Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).
berangka tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala.
Menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta. Isinya
menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di Desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan di samping itu juga diceritakan bahwa mula-mula yang menjadi Raja adalah Sanna kemudian digantikan oleh Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).
2.
Prasasti Mantyasih
Ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa Tengah. Berangka tahun 907 M yang
menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isinya adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih ini juga disebut dengan prasasti Balitung.
menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isinya adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih ini juga disebut dengan prasasti Balitung.
3.
Prasasti Kalasan
Ditemukan di Desa Kalasan Yogyakarta, berangka tahun 778 M.
Ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta.
Ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta.
Isinya menceritakan tentang pendirian bangunan suci (Candi
Kalasan) untuk Dewi Tara dan biara untuk
pendeta oleh Raja Panangkaran atas permintaan
keluarga Syailendra.
Panangkaran juga menghadiahkan
desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Budha).
4.
Prasasti Klurak
Ditemukan di Desa Prambanan, berangka tahun 782 M. Ditulis dalam
huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan tentang pembuatan arca Manjusri (Candi Sewu) oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan tentang pembuatan arca Manjusri (Candi Sewu) oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
3. KARYA SASTRA
1.
Kakawin Ramayana
Dibuat pada
abad IX.
.
2.
Bagian-bagian Mahabhrata
Dibuat pada
abad X.
3.
Kitab
Sang Hyang Kamahayanikan
Karya Sambhara Suryawarana, dikarang
pada zaman Raja Empu Sindok.