Rabu, 30 Oktober 2013

Kerajaan Mataram Kuno


I. Asal Mula Kerajaan Mataram Kuno

Sekitar abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram. Munculnya kerajaan ini diterangkan dalam prasasti yang ditemukan di daerah Canggal, di barat daya Magelang. Dalam Prasasti Canggal diterangkan bahwa Raja Sanjaya telah mendirikan sebuah lingga di atas bukit Kunjarakunja (di Gunung Wukir) pada tahun 732 Masehi. Jawa (Mataram) yang kaya akan padi dan emas, mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna meninggal, negara pecah karena kehilangan pelindung. Penggantinya adalah Raja Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna. Raja Sanjaya berhasil menaklukkan beberapa daerah di sekitarnya dan menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya.

Riwayat berdirinya Kerajaan Mataram tersurat pula dalam kitab Carita Parahiyangan. Di dalam Carita Parahiyangan diceritakan bahwa Sanna terpaksa turun takhta karena dikalahkan Rahyang Purbasora di Galuh. Beliau dan para pengikutnya menyingkir ke lereng Gunung Merapi. Tidak lama, anak Sannaha, yaitu Sanjaya berhasil membalas kekalahan Raja Sanna. Beliau kemudian menguasai Galuh kembali dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah. Setelah itu Sanjaya mendirikan Kerajaan Mataram yang beribukota di Medang ri Poh Pitu pada tahun 717 Masehi.

Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja dari Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya adalah raja-raja keturunan Sanjaya yang menganut agama Hindu, sedangkan Dinasti Syailendra adalah raja-raja yang diduga berasal dari India Selatan atau Kamboja yang menganut agama Buddha Mahayana. Menurut beberapa ahli sejarah, antara kedua dinasti terjadi persaingan sehingga mereka secara bergantian memerintah di Mataram. Di dalam Prasasti Mantyasih (907 M) dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M) disebutkan nama-nama Raja Mataram sebagai berikut.

1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Sankhara (746-784 M)
3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan/Dharanindra (784-803 M)
4. Sri Maharaja Rakai Warak Dyah Manara (803-827 M)
5. Sri Maharaja Dyah Gula (827-828 M)
6. Sri Maharaja Dyah Garung (828-847 M)
7. Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu (847-855 M)
8. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (885-885 M)
9. Sri Maharaja Dyah Tagwas (885 M)
10. Sri Maharaja Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887 M)
11. Sri Maharaja Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887 M)
12. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang Dyah Jbang (894-898 M)
13. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-913 M)

Raja Sanjaya meninggal pada tahun 746 M. Beliau diganti oleh Rakai Panangkaran. Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran agama Buddha mulai berkembang di Mataram.
Dalam Prasasti Sankhara (sekitar abad ke-8) yang ditemukan di Sragen (Jawa Tengah), tertulis bahwa Rakai Panangkaran telah berpindah dari agama Siwa ke agama Buddha. Beliau mendirikan Candi Kalasan untuk menghormati Dewi Tara. Beliau juga membangun biara untuk para bhiksu dan bhiksuni Buddha. Sejak saat itu, keluarga kerajaan ada yang beragama Hindu, ada pula yang beragama Buddha. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, dan mereka yang menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.

Agama Buddha mengalami perkembangan yang amat pesat pada masa pemerintahan Samaratungga, anak dari Rakai Panangkaran. Nama Samaratungga tidak tercatat dalam silsilah raja-raja yang tertuang dalam Prasasti Mantyasih. Beliau diketahui namanya dari Prasasti Nalanda dan Prasasti Kayumwungan (824 M). Pada tahun 824 M, Beliau berhasil membangun Candi Borobudur untuk para penganut agama Buddha. Bangunan ini terdiri atas 10 tingkat yang melambangkan makna bahwa kesempurnaan hidup akan dicapai setelah melampaui 10 tingkatan.

Samaratungga mempunyai anak yang bernama Pramodhawardani dan Balaputeradewa. Samaratungga menikahkan Pramodhawardani dengan Rakai Pikatan. Balaputeradewa tidak menyetujui perkawinan tersebut karena terancam kedudukannya sebagai putera mahkota Syailendra. Oleh karena itu, timbullah perselisihan antara Balaputeradewa dan Pramodhawardani yang dibantu Rakai Pikatan. Dalam pertikaian itu, Balaputeradewa menderita kekalahan sehingga melarikan diri ke Sumatera. Kelak ia menjadi raja di Sriwijaya.



Semenjak Rakai Pikatan berkuasa, Kerajaan Mataram menjadi aman dan makmur. Umat Hindu dan Buddha hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Toleransi kehidupan beragama terwujud dalam pembangunan dan pemeliharaan candi-candi secara bergotong royong.

Kerajaan Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah di sebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya.
Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).

Sepeninggal Raja Balitung, Kerajaan Mataram kuno diperintah oleh raja-raja, yakni Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M), dan Wawa
(924-929 M). Namun, tidak ada sumber berarti yang dapat menerangkan peran ketiga raja tersebut.

Pada tahun 929 pusat Kerajaan Mataram kuno dipindahkan ke Watugaluh (Jawa Timur) oleh Mpu Sindok. Beliau dianggap sebagai pendiri Dinasti Isyana. Menurut para ahli sejarawan, perpindahan pusat kerajaan itu dilakukan karena wilayah Mataram ditimpa bencana letusan Gunung Merapi. Masa pemerintahan Mpu Sindok berlangsung secara aman dan tenteram. Mpu Sindok seringkali memberikan bantuan bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam bidang sastra muncul Kitab Suci Agama Buddha Tantrayana, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan.

Kekuasaan Mpu Sindok diteruskan oleh Sri Isana Tunggawijaya yang memerintah sebagai Ratu. Ia menikah dengan Raja Sri Lokapala dan dikaruniai seorang putra yang bernama Sri Makutawang Swardhana.

Pada akhir abad ke-10 M, Mataram diperintah oleh Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang memerintah sampai tahun 1016 M. Ia adalah salah seorang keturunan Mpu Sindok. Berdasarkan berita dari Cina, disebutkan bahwa Dharmawangsa pada tahun 990 M melakukan serangan ke Sriwijaya sebagai upaya mematahkan monopoli perdagangan Sriwijaya. Serangan tersebut gagal, malahan Sriwijaya berhasil menghasut Raja Wurawari (sekitar Banyumas) untuk menyerang istana Dharmawangsa pada tahun 1016. Akhirnya Sri Dharmawangsa yang mempunyai ambisi untuk meluaskan kekuasaannya, pada tahun 1016 M mengalami kehancuran (Pralaya) di tangan seorang raja bawahannya sendiri yaitu Raja Wurawari.

II. Raja-Raja Kerajaan Mataram Kuno

A.   Mataram Hindu

1.Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
Raja Sanjaya berdasarkan Prasasti Canggal (732 M), merupakan pendiri dari Dinasti Sanjaya yang bertahta di Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Menurut Prasasti Canggal (732 M), ia adalah kemenakan dari Sanna, penguasa sebelumnya. Raja Sanjaya mendirikan candi-candi untuk memuja Dewa Siwa. Sanjaya juga belajar agama Hindu Siwa dari para pendeta yang ia panggil.

Sanjaya meninggal pada pertengahan abad ke-8 dan kedudukannya di Mataram digantikan oleh Rakai Panangkaran (760-780), dan terus berlanjut sampai masa Dyah Wawa (924-928), sebelum digantikan oleh Mpu Sindok (929) dari Dinasti Isyana.

Menurut sumber sejarah Sunda, Sanjaya di Jawa 
Barat dikenal pula dengan panggilan Prabu Harisdarma, dan ia turut berperan dalam suksesi di Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Di sana, keturunannya melalui Rakeyan Banga (739-766 M) terus memerintah sampai dengan masa Sri Jayabupati (1030-1042 M).

2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil mengembangkan potensi wilayahnya. Rakai Pangkaran berhasil mewujudkan cita-cita ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan mengambangkan potensi wilayahnya.
Nasehatnya yang terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia adalah :
·        Kasuran (Kesaktian)
·        Kagunan (Kepandaian)
·        Kabegjan (Kekayaan)
·        Kabrayan (Banyak Anak Cucu)
·        Kasinggihan (Keluhuran)
·        Kasyuwan (Panjang Umur)
·        Kawidagdan (Keselamatan)


Menurut Prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.


3. Sri Maharaja Rakai Pananggalan
Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli terhadap siklus waktu. Beliau berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Rakai Panggalan juga memberikan rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berikut ini “Keselamatan dunia supaya diusahakan agar tinggi derajatnya. Agar tercapai tujuannya tapi jangan lupa akan tata hidup”
Visi dan Misi Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti empat Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas berat. Catur Guru terdiri dari :
·        Guru Sudarma, orang tua yang melairkan manusia.
·        Guru Swadaya, Tuhan
·        Guru Surasa, Bapak dan Ibu Guru di sekolah 
·        Guru Wisesa, Pemerintah pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama
Pemberian penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran  hukum dan pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.

4. Sri Maharaja Rakai Warak
Rakai Warak, yang berarti raja mulia yang peduli pada cita-cita luhur. Pada masa pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer berkembang dengan pesat. Berbagai macam senjata diciptakan. Rakai Warak sangat mengutamakan ketertiban yang berlandaskan pada etika dan moral. Saat Rakai Warak berkuasa, ada tiga pesan yang diberikan, yaitu :
1. Kewajiban raja adalah jangan sampai terlena dalam menata, meneliti, memeriksa dan melindungi.
2. Pakaian raja adalah menjalankanlah dengan adil dalam memberi hukuman dan ganjaran kepada yang bersalah dan berjasa.
3. Kekuatan raja adalah bisa mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi anugrah.

5. Sri Maharaja Rakai Garung
Garung memiliki arti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan. Demi memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai Garung bekerja siang hingga malam. Hal ini dilakukan tak lain hanya mengharap keselamatan dunia raya yang diagungkan dalam ajarannya.
Dalam menjalankan pemerintahannya Rakai Garung memiliki prinsip Tri Kaya Parasada yang berarti tiga perilaku manusia yang suci. Tri Kaya Parasada yang dimaksud, yaitu :
v Manacika yang berarti berfikir yang baik dan benar.
v Wacika yang berarti berkata yang baik dan benar.
v Kayika yang berarti berbuat yang baik dan benar.

6. Sri Maharaja Rakai Pikatan
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Rakai Pikatan. Dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perut (850 M) menyebutkan bahwa Rakai Pikatan yang bergelar Ratu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Pada masa pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang wilayah kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang.
Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi Roro Jonggrang. Pembuatan Candi tersebut terdapat dalam prasasti Siwagraha yang berangka tahun 856 M. Rakai Pikatan terkenal dengan konsepnya Wasesa Tri Dharma yang berarti tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia.

7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi memiliki gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Tugas utamanya yaitu memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga negaranya.
Pada masa pemerintahannya, Rakai Kayuwangi menuturkan bahwa ada enam alat untuk mencari ilmu, yaitu :
1. Bersungguh-sungguh tidak gentar
Semua tutur kata dan budi bahasa dilakukan dengan baik, selaras dan menyatu.
2. Bertenggang rasa
Memperhatikan sikap yang kurang baik dengan kebenaran.
3. Ulah pikiran
Menimbang-nimbang dengan memperhatikan tujuan kemampuan dan kemauan yang diterapkan harus atas pemikiran yang tepat.
4. Penerapan ajaran 
Dalam setiap melaksanakan kehendak harus dipertimbangkan, jangan sampai tergesa-gesa. Jangan melupakan ajaran terdahulu, ajaran masa kini perlu untuk diketahui.
5. Kemauan
Sanggup sehidup semati, mematikan keinginan dan membersihkan diri. Dalam kata lain, tekad dan niat harus dilakukan dan tidak segan-segan dalam melakukan pekerjaan.
6. Menguasai berbagai bahasa
Memahami semua bahasa agar mampu mengatasi perhubungan serta mampu mengakrabi siapa saja.

8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam menjalankan pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya adalah  Tri Parama Arta yang berarti tiga perbuatan untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Tri Parama Arta terdiri dari :
1. Cinta Kasih, menyayangi dan mengasihi sesama makhluk sebagaimana mengasihi diri sendiri.
2. Punian, perwujudan cinta kasih dengan saling tolong menolong dengan memberikan sesuatu yang dimiliki secara ikhlas.
3. Bakti, perwujudan hati nurani berupa cinta kasih dan sujud Tuhan, orang tua, guru dan pemerintah.



9. Sri Maharaja Rakai Dyah Belitung
Pada masa pemerintahannya beliau memiliki seorang teknokrat intelektual yang handal bernama Daksottama. Pemikirannya mempengaruhi gagasan Sang Prabu Dyah Balitung. Masa pemerintahannya juga menjadi masa keemasan bagi Wangsa Sanjaya. Sang Prabu aktif mengolah cipta karya untuk mengembangkan kemajuan masyarakatnya. Dalam mengolah cipta karya, tahun 907 Dyah Balitung membuat Prasasti Kedu atau Metyasih yang berisikan nama-nama raja Kerajaan Mataram Wangsa Sanjaya. Serta menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada masa itu.

10. Sri Maharaja Rakai Daksa
Daksa yang berarti seorang pemimpin yang utama dan istimewa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, Daksottama dipersiapkan untuk menggantikannya sebagai Raja Mataram Hindu.

11. Sri Maharaja Rakai Dyah Tulodhong
Rakai Dyah Tulodhong mengabdikan dirinya kepada masyarakat menggantikan kepemimpinan Rakai Daksa. Keterangan tersebut termuat dalam Prasasti Poh Galuh yang berangka tahun 809 M. Pada masa pemerintahannya, Dyah Tulodhong sangat memperhatikan kaum brahmana.

12. Sri Maharaja Rakai Dyah Wawa
Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan sebagai raja Mataram pada tahun 921 M. Beliau terkenal sebagai raja yang ahli dalam berdiplomasi, sehingga sangat terkenal dalam kancah politik internasional.
Roda perekonomian pada masa pemerintahannya berjalan dengan pesat. Dalam menjalankan pemerintahannya Dyah Wawa memiliki visi Tri Rena Tata yang berarti tiga hutang yang dimiliki manusia. Pertama, hutang kepada Tuhan yang menciptakannya. Kedua, hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya. Dan ketiga, hutang ilmu kepada guru yang telah mengajarkannya.
Keruntuhan Mataram Hindu: Pada abad ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan strategi suksesi Empu Sendok yang memiliki integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sumber lain menyebutkan perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung merapi di Jawa Tengah.

B. Mataram Budha

1.     Raja Syailendra
Raja Banu / Syailendra merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra.
2.     Raja Dharanendra
Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur mulai dibangun tepatnya 778 M.
3.     Raja Indra
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan.
4.     Raja Samaratungga
Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menghayati nilai agama dan budaya. Pada masa pemerintahannya Candi Borobudur selesai dibangun.
5.     Raja Pramodhawardhani
Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.
6.     Raja Balaputera Dewa
Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibu yang bernama Dewi Tara, puteri Raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Balaputera Dewa merasa berhak mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan kepada Rakai  Pikatan yang keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Palembang.

III.    Kehidupan Kerajaan Mataram Kuno

A.  Kehidupan Politik
Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, Mataram Kuno menjalin kerjasama dengan Kerajaan tetangga, misalnya Sriwijaya, Siam dan India. Selain itu, Mataram Kuno juga menggunakan sistem perkawinan politik. Misalnya pada masa pemerintahan Samaratungga yang berusaha menyatukan kembali Wangsa Sailendra dan Wangsa Sanjaya dengan cara anaknya yang bernama Pramodyawardhani (Wangsa Sailendra) dinikahkan dengan Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya). Wangsa Sanjaya merupakan penguasa awal di Kerajaan Mataram Kuno, sedangkan Wangsa Sailendra muncul setelahnya yaitu mulai akhir abad ke-8 M. Dengan adanya perkawinan politik ini, maka jalinan kerukunan beragama antara Hindu (Wangsa Sanjaya) dan Buddha (Wangsa Sailendra) semakin erat.

B.   Kehidupan Sosial
Kerajaan Mataram Kuno meskipun dalam praktik keagamaannya terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha, masyarakatnya tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Sikap itu dibuktikan ketika mereka bergotong royong dalam membangun Candi Borobudur. Masyarakat Hindu yang sebenarnya tidak ada kepentingan dalam membangun Candi Borobudur, tetapi karena sikap toleransi dan gotong royong yang telah mendarah daging turut juga dalam pembangunan tersebut.
Keteraturan kehidupan sosial di Kerajaan Mataram Kuno juga dibuktikan adanya kepatuhan hukum pada semua pihak. Peraturan hukum yang dibuat oleh penduduk desa ternyata juga dihormati dan dijalankan oleh para pegawai istana. Semua itu bisa berlangsung karena adanya hubungan erat antara rakyat dan kalangan istana.
C.   Kehidupan Ekonomi
Pusat kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah sungai Progo, meliputi daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah itu amat subur sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Hal ini mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain yang saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya. Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian ketika Raja Balitung berkuasa. Raja telah memerintahkan untuk membuat pusat-pusat perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui aliran sungai tersebut. Sebagai imbalannya, penduduk desa di kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarya pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan menigkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.


IV. Peninggalan-Peninggalan Kerajaan
Mataram Kuno

1.     CANDI
A.   Candi Hindu
a.     Candi Dieng
Lokasi: Kabupaten Wonosobo
b.     Candi Canggal
Lokasi: Dusun Canggal, Kalurahan Kadiluwih, Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Dibangun pada saat pemerintahan Raja Sanjaya pada tahun 732 M.

c.      Candi Bima
Lokasi: Kabupaten Wonosobo.
Merupakan salah satu candi pada kompleks Candi Dieng.

d.     Candi Prambanan
Lokasi: Perbatasan Klaten-Sleman.
Candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun oleh Raja-raja Dinasty Sanjaya pada abad ke-9.

 e.      Candi Sambisari
Lokasi: Desa Sambisari Kelurahan Purwomartani Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dibangun pada saat pemerintahan Raja Rakai Garung pada tahun
812-838 M.
f.       Candi Gedong Songo
Lokasi: Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Terletak di lereng Gunung Ungaran pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut.
Dibangun oleh Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 Masehi).


















B.   Candi Buddha
a.     Candi Borobudur
Lokasi: Kabupaten Magelang.
Dibangun pada masa Raja Samaratungga.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh68NUP8bJ6d0uN74eKomEuO_8MdDA1VUR1EqaIQa2RTG8eZfbZ_9-PkdA9CxO7OgwDM5GnJ-7e6de5g7nxFgO3YCW76Ow5aPI_zIpl4yoDwZMwP19VgFGPZh0fwc3Gbf-kxCIDrDXoNCI/s400/borobudur6.jpg
b.     Candi Pawon
Lokasi: Kabupaten Magelang.
Dibangun pada masa Raja Pramodyawardani.
c.      Candi Mendut
Lokasi: Kabupaten Magelang.
Didalamnya terdapat patung Padmapani dan Wajrapani.
d.     Candi Kalasan
Lokasi: Kabupaten Sleman.
Dibangun pada masa Raja Panangkaran.
e.      Candi Ngawen
Lokasi:  Kabupaten Muntilan.
Dibangun oleh Raja yang beragama Hindu, dan diperuntukkan bagi umat yang beragama Buddha.





2.     PRASASTI
1.     Prasasti Canggal
Ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di Desa Canggal,
berangka tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala.
Menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta. Isinya
menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di
Desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan di samping itu juga diceritakan bahwa mula-mula yang menjadi Raja adalah Sanna kemudian digantikan oleh Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).
2.     Prasasti Mantyasih
Ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa Tengah. Berangka tahun 907 M yang
menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi
nya adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih ini juga disebut dengan prasasti Balitung.
3.     Prasasti Kalasan
Ditemukan di Desa Kalasan Yogyakarta, berangka tahun 778 M.
Ditulis dalam huruf  Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta.
Isinya menceritakan tentang pendirian bangunan suci (Candi Kalasan) untuk Dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh Raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syailendra. Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Budha).
4.     Prasasti Klurak
Ditemukan di Desa Prambanan, berangka tahun 782 M. Ditulis dalam
huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta
. Isinya menceritakan tentang pembuatan arca Manjusri (Candi Sewu) oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.



3.     KARYA SASTRA
1.     Kakawin Ramayana
Dibuat pada abad IX.
.
2.     Bagian-bagian Mahabhrata
Dibuat pada abad X.

3.     Kitab Sang Hyang Kamahayanikan
Karya Sambhara Suryawarana, dikarang pada zaman Raja Empu Sindok.
 
Copyright 2009 Dewi